понедельник, 25 июня 2018 г.

Hukum islam tentang bisnis forex


Hukum islam tentang bisnis forex
Assalamu & # 8217; alaikum, pak ustadz, ou seja, você pode entrar em contato com a comunidade online através do seu e-mail com a ajuda do estrangeiro & # 8221; Dimana bisnis ini pada da mengambil keuntungan dari penjualan suatu mata uang, kalau de dunia nyata mungkin mirip dengan money changer. atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilipacipa kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Langsung saja, dalam syari no islam, bisnis mata uang (valas) secara garis besar dibolehkan, haya saja ada dua ketentuan yang harus diindahkan. Kedua ketentuan tersebut bertujuan para menjaga stabilitas perekonomian masyarakat luas.



















































O que é isso? Berikut kedua ketentuan tersebut:
1. Bila mata uang yang Jenis diperdagangkan Sama, Misal: uang rupiah pecahan R $ 100.000, - ditukar dengan uang rupia pecahan R $ 1.000, - maka pada kondisi semacam ini ada dua persaratan yang Harus dipenuhi:
Você pode adicionar um novo pedido a este pedido, mas este é o seu pedido de compra, mas você pode comprar os seguintes produtos em um dos seguintes modelos: pagando apenas um lote, mas indo para o outro lado de um hawaii. Rp 1, - (satu rupiah). Nominei kedua uang tersbeut morena, tanpa ada yang dilebihkan. Dengan demiya pada con kasus di atas, yaitu uang rupiah pecahan Rp. 100.000, - bila ditukar dengan uang rupiah pecahan Rp. 1,000, - maka pemilik pecahan Rp 100.000, - harus benar mendapatkan pecahan Rp 1.000, - sebanyak 100 (seratus) lembar. Tímida boleh ada pengurangan sedikitpun.
2. Adicionar à Mesa de Luz Berbeda jenis, misalnya mata, uang dolar, amerika, ditukar, dengan rupiah, indonesia, maca, pada, kondisi, semacam ini proses tukar menukar harus memenuhi syarat pertama dari kedua persyaratan di asas, yaitu pembayaran dilakukan dengan kontan dan lunas, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Denny demi-bila e um cardápio de hoje em dia sebesar $ 100 dengan rupiah sebesar Rp. 10.400.000, -, maka pembayaran antara and berdua harus dilakukan dengan kontan dan lunas, tanpa ada yang terhutang sedikitpun.
بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير, والتمر بالتمر, والملحبالملحمملابمثل, سواءبسواء, يدابيد, فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم.
& # 8220; Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, Gandum dijual dengan Gandum, sya & # 8217; IV (Salah satu Jenis Gandum) sya dengan dijual & # 8217; ir, Korma dijual dengan Korma, dan garam dijual dengan garam, ( takaran / timbangannya) harus sama dan kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba. & # 8221; (HRS muçulmano dalam kitabnya como Shahih)
Dan para ulama & # 8217; Zaman sekarang telah menyatakan bahwa berbagai mata uang yang ada di Zaman sekarang berperan sebagai mata uang yang ada pada Zaman dahulu yaitu dinar dirham atau.
Dengan demikian Todos Cronometram hukum yang berlaku pada penukaran mata uang dinar dengan dinar atau dirham dengan dirham atau dinar dengan dirham berlaku pula pada pernukaran mata uang yang ada pada Zaman sekarang.
Bila demician adanya, maka bisnis valas secara on-line yang disebut dengan forex adalah bisnis yang diharamkan. Yang demi-kiu-ia karena pembayaran pada bisnis cara ini tidak dilakukan dengan kontan dan lunas, akan tetapi pembeli hanya membayarkan beberapa persa dari total valsa yang ia beli sebagai jaminan, dan pada penutupana pasar valas de akhir hari atau pada akhir tempo yang disepakati oleh keduanya, mereka berdua mengadakan perhitungan attu atu rugi selaras dengan pergerakan nilai tukar kedua mata uang yang diperdagangkan.
Wallahu Ta & # 8217; ala a & # 8217; alam bisshowab.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Bin Badri, MA.
Punya Pertanyaan Masalah Hukum Perdagangan?
Bergabunglah di Milis Fatwa Perdagangan [e-mail & # 160; protegido], milis ini disediakan bagi anggota milis pengusahamuslim Yang ingin bertanya tentang berbagai Masalah hukum perdagangan dengan Ustadz Pembina milis pengusahamuslim.
Untuk Bergabung, kirim e-mail kosong ke: [email & # 160; protegido]
Para mais informações, por favor, descreva: [email & # 160; protected]
Mohon bersabar jika pertanyaan tidak langsung dijawab, Karena kesibukan Ustadz Pembina dan Karena diperlukannya waktu untuk menyusun jawaban dan pencarian Dalil-Dalil yang mendukung jawaban.
Ustadz Pembina yang aktif saat ini adalah:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Ustadz Muhammad Arifin bin Badri, M. A. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.
Descrição: forex hukum, hukum forex de negociação, hukum forex dalam islam, negociação de hukum, hukum negociação forex on-line dalam islam.
Palavras-chave: hukum, negociação, forex, dalam, islamismo, menurut, bisnis.

Hukum islam tentang bisnis forex
Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonésia:
Existe um consenso geral entre os juristas islâmicos sobre a visão de que moedas de diferentes países podem ser trocadas em uma base diferente da unidade, já que moedas de países diferentes são entidades distintas com valores ou valores intrínsecos diferentes e poder de compra. Também parece haver um acordo geral entre a maioria dos estudiosos sobre a visão de que a troca de moeda a termo não é permitida, ou seja, quando os direitos e obrigações de ambas as partes se referem a uma data futura. No entanto, existe uma considerável diferença de opinião entre os juristas quando os direitos de qualquer uma das partes, que é o mesmo que a obrigação da contraparte, são diferidos para uma data futura.
2. A questão da proibição de Riba.
A divergência de pontos de vista sobre a admissibilidade ou não de contratos de câmbio em moedas pode ser atribuída principalmente à questão da proibição da riba.
3. A questão da liberdade de Gharar.
3.1 Definindo Gharar.
4. Resumo & amp; Conclusão.
Os mercados de moeda corrente de hoje são caracterizados por taxas de câmbio voláteis. Este fato deve ser levado em conta em qualquer análise dos três tipos básicos de contratos em que a base de distinção é a possibilidade de diferimento de obrigações para o futuro. Nós tentamos uma avaliação dessas formas de contratação em termos da necessidade esmagadora de eliminar qualquer possibilidade de riba, minimizar gharar, jahl e a possibilidade de especulação de um tipo semelhante aos jogos de azar. Num mercado volátil, os participantes estão expostos ao risco cambial e a racionalidade islâmica exige que esse risco seja minimizado no interesse da eficiência, se não for reduzido a zero.
1. Essas visões diversas se refletem nos trabalhos apresentados no Quarto Seminário FH, organizado pela Academia Islâmica Fh, na Índia, em 1991, que foram posteriormente publicados em Majalla Fh Islami, parte 4 pela Academia. A discussão sobre a proibição da riba baseia-se nesses pontos de vista.

Por Forex Halal Atau Haram Dalam Pandangan Islã.
Tak bisa dipungkiri jika saat ini aktifitas trading forex menjadi salah satu tendência dalam menghasilkan uang, yang mulai banyak digemari para pengguna internet.
Apa Itu Bisnis Forex?
Apakah Forex Sama Dengan Judi.
Perbedaan Judi Dengan Forex.
Bermain judi sifatnya hanya untung untungan, sedangkan di bisnis Forex tidak. A partir de agora você pode negociar com Forex, mas você também pode gostar ou não. Judi tak ada Produk yang diperjualbelikan, sedangkan dalam bisnis Ada produknya, yaitu mata uang. O mana de ouro está em alta velocidade, o mergulho em kondisi suatu negara. Tradução automática limitada:: A gestão do dinheiro, a gestão do dinheiro, o bênção, a bênção, a bizarra batas, o kerugian serta, a sementa, o mendapatkan hasil akhir, o sesuai yang kita harap. Bermain judi sangat dilarang keras oleh pemerintah, sedangkan bisnis forex di perbolehkan oleh pemerintah. Bahmán ada regulasi resmi yang mengaturnya.





































































































































.
Bisnis Forex Menurut Islã.
Fatwa Mui Você possui Forex Forex Halal atau Haram.
Kesimpulan
Cara Jualan di Facebook e Sudah Saya Buktikan, Terbukti Ampuh!







Kecil Penyebab Miskinnya Kejujuran Dalam Menjalankan Usaha Keputusan beli atau jual yang di lakukan harry melalui analisa terlebih dahulu, te amo boleh asal nebak, karena jika seperti itu sama dengan judi. Dan yang tak kalah penteando, yang harus diketahui adal ah bisnis estrangeiros b ukanlah jalan instan menuju kaya. Karena seperti jenis bisnis lainnya, semuanya butuh proses.

NEGOCIAÇÃO DE FOREX DE HUKUM BISNIS.
Assalamu \ alaikum wr wb. Ustadz Kardita é um bertanya mau, bagaimanakah hukum bisnis forex negociando yang sekarang ini lagi tren? Terima kasih. Wassalam
Wa alaikumsalam wr wb. Sobat Syamil yang budiman, dalam perspektif hukum Islã, bisnis forex trading (perdagangan valas) dapat dimasukkan ke dalam kategori al-masa al-mu ashirah atau masalah-masalah hukum islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. O que você precisa saber é o que você está procurando, mas o que você está procurando neste wiki, mas você também pode entrar em contato conosco através do e-mail: nash hukum yang pasti. Menurut al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa & rsquo; I la tatanahi, artinya nash hukum dalam bentuk Al-Quran e Sunnah sudah selesai; também conhecido como lagi ada tambahan, sedangkan realitas kehidupan tidak hslah berhenti. Denik demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Allah SWT é um deus do Islã que se esconde e se esconde no Senantiasa mengakomodir kebutuhan umat manusia sesuai denis prinsip-dais norma bisnis yakni de antaranya ketiadaan spekulasi (maisir) yang mendorong aktivitas bisnis yang tidak produktif dan transaksi ribawi yang mengakibatkan eksploitasi ekonomi oleh para pemilik modal (riba Nasi & # 39; ah & jahiliyah & # 39; atau yang / tidak / menumbuhkan sektor riil melalui perdagangan dan pertukaran barang sejenis yang ribawi (riba fadhl) sebano / a terjadi pada transaksi trading instrumen derivatif di pasar sekunder terutama dengan subjacente valiosas yang berpotensi memandulkan pertumbuhan ekonomi yang hakiki.
Menurut prinsip mu, amala syari, juali beli mata uang yang disetarakan dengan emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah dilakukan dengan tunai / kontan (naqdan) ágar teri dari transaksi ribawi (riba fadhl), sebaimana dijelaskan hadits mengenai jual beli enam macam barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Rasulullah bersabda: "Ehás hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, bur (jelai) dengan bur, sya" s dengan sya & rsquo; ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis e sama haruslah secara kontan (yadan biyadin / naqdan). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan. & Rdquo; (HR. Muçulmano)
Pada prinsip syariahnya, perdagangan valuta aspat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fih dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya (Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma:: 58). Emas e outros sebastian mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau EUA Dolar (USD) kepada Dolar kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalcan jumlah nominalnya sama). Hal itu karena dapat menimbulkan Riba Fadhl seperti yang dimaksud dalam larangan hadits di atas. Namíbia, Júpiter, Rúpia rupiava, Dolar, atua, se você pode, de fato, mudar (mudar) sesuai dengan (taxa de câmbio) com a ajuda de efeitos / ponto (taqabudh fi & rsquo; li) em um ponto dikategorikan (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah (Al-Mughni, vol. 4) tentang kriteria & lsquo; tunai & rsquo; atau & kontan & rsquo; dalam jual beli yang dikembalikan kepada kelaziman pasar yang berlaku meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (liquidação-nya) karena proses teknis transaksi. Isso significa que você pode usar o método de pagamento de taxas de câmbio e juros de mercado (taxa de mercado). Nabi bersabda: & ldquo; Perjualbelikanlah emas dengan perak semaus kalian asalkan secara kontan & rdquo; dan dalam hadits Ibnu Omar Rasulullah é um membro da comunidade que se compara à comunidade de pessoas que vivem na comunidade de homens e mulheres de boa fé e de boa vontade, e que, de fato, são os que mais amam a sua vida.
Dalam prakteknya, menghindari penyimpangan syariah, maka kegiatan transaksi e perdagangan valuta asing (valas) harus terbebas dari unsur riba, maysir (jogos / jogos de azar) dan gharar (ketidakjelasan, manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu jual beli maupun bisnis valas harus dilataram dalam secara kontan (spot) atau kategori kontan. Motif pertukaran itupun tchau boleh untuk spekulasi yang dapat menjurus kepada judi / gambling (maysir) melunkan para membiayai transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, ekspor-impor atau komersial baik barang maupun jasai (transação motivo ). Di samping peru dihindari jual-beli valas secara bersyarat dimana pihak penjual mensyaratkan kepada pembeli harus mau menjual kembali kepadanya pada periodo tertentu di masa mendatang, karena hal itu termasuk katagori menjual barang yang belum diterima secara definitif (Bai'Fudhuli) yang dilarang dalam Islã .
Demikian halnya, dunia perbankan termasuk banco syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internacional (ekspor-impor) maupun kebutuhan masyarakat terhadap penukaran valuta asing tidak dopat terhindar dari keterlibatannya di pasar valuta asing (divisas estrangeiras). Hukum transaksi yang dilakukan oleh sebagian bank syariah dalam muamlah jual beli valuta asing daida dilapaskan dari ketentuan syariah mengenai sharf. Bentuk transaksi penukaran valuta asing yang biasa dilakukan banco syariah dapat dikategorikan sebagai naqdan (spot) mesyipun penyerahan dan penerimaan tersebut tidak tera pada waktu transaksi diputuskan (lidar), melainkan penyelesaiannya (liquidação-nya) baru tuntas dalam 48 geleia (dua hari) kerja. Fenômenos de transaksi ini sudah biasa dikam dalam dunia perdagangan internasional tetap disebut transaksi valas spot antar bank. Bahiana jika kebetulan bertepatan denã libur akhir pekan, sera terima itu baru dapat terlaksana setelah 96 jam kerja. (Dr. As-Saih, Ahkamul, "Uqud wal Buyu", Fh: 112, Dr. Sami Hamud, Tathwirul, Mal al-Mashrafiyah, 372, Qardhawi dalam, Fatawa Mu ashirah).
Denik demikian, hukum transaksi troca de dinheiro dalam bentuknya yang sederhana sepanjang dilakukan secara tunai atau dikategorikan tunai (spot) e jual putus (one shot deal) serta bukan un tuque atua memfasilitasi dan mendukung kegiatan spekulasi pada prinsipnya diperbolehkan menurut syariah islam berdasarkan akad sharf selama menghindari pantangan syariah dalam bisnis. Wallahu a lam bi al-shawab.

Pesquisa Forex Forex Fit4Global.
Resumo Predefinição Predefinição Mata Uang Global dengan Mengkombinasikan Fundamental vs Teknikal, dalam satu kesatuan garis logika matematis yang berbasis Software Metatrader dan sejenisnya.
Forex menurut Hukum Islam.
Permalink here (line 411) Você pode enviar uma cópia do seu pedido de compra de forex, enviar um comentário ou enviar um pedido de compra para este item, ou enviar uma via de ajuda juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumler tentang forex itu sendiri (sedução para enviar um carro forex itu sendiri, silahkan search de Google). Fit4global. wordpress hanya membros wacana, dan hanya fokus ke riseta ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika e ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fundamental.
Forex dari Perspektif Islam.
Foto tirada do Islã em um yang do dia de hoje. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam? Apa Pendapat para ulama mengenai trading forex, negociação saham, índice de negociação, saham, dan komoditi? Apakah Hukum Forex Negociação Valas Halal Menurut Hukum Islam? Mari kita ikuti selengkapnya.
Jangan engkau menjual sesuatu yang tidakadam padamu, ”sabda Nabi Muhammad VIU, dalam sebuah hadits riwayat de Abu Hurairah.
Oleh sementara fuqaha (ahli fih islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fih Islam is it is to be a Islam is a tututan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, se você é um membro da equipe de governo que cuida de você, quer se esforçar para dizer o que pensa sobre você. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak jar-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur'an, sunnah maupun fatwa para sahabat, laranjan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat laranjan menjual barang yang belga ada, sebagaimana laranganagemapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Jurar atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” Ujar Dr. Syamsul Anwar, MA Dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adatah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. A partir de agora você pode ver as imagens de outros membros da comunidade de turismo em Bhikan no.
Jadi, mesquita pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi - karena satu dan lain hal - tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi Yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan - satu hal Yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik konvensional jua-beli.
Dalam perspektif hukum o Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (cambial adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa'il almu'ashirah atau Masalah-Masalah hukum o Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. O que você precisa saber é o que você está procurando, mas o que você está procurando neste wiki, mas você também pode entrar em contato conosco através do e-mail: nash hukum yang pasti.
Na maioria das vezes, masalah hukum al-Sahrastani, em primeiro lugar, o paradigma do al-nushush é qin inta wa wa wa-waqa'i la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran e Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Denik demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahanhukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Eu gosto de beber, beber café berubah karena beber perbelhnya varlavel, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan ou paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqah fi al-a'yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; idéia de alam pamikiran atau alam.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. O que há de novo, PBK termasuk kajian hukum Islã dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melanui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realizando o empolamento de mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islã dapat dianalogikan dengan bay 'al-salam'ajl bi'ajil.
Bay'al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salá adalah baía 'ajl bi'ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang é sinônimo de sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra's al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi'īyah e Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (ojjjjjj) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun e syarat sebagai berikut:
a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Não disponível em:
Pihak-pihak pelaku transaksi ("aqid) yang disebut dengan istilah muçulmano atau muçulmano ilaih. Objek transaksi (ma'qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka e harga tukar (ra 'al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat "aqad"), yaitu ijab dan kabul. Yang peruk diperhatikan dari unsur unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi'iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa 'aqd al-salam adalah bay' al-ma'dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan Beli (comprar).
Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi haru memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (um yakun fi jinsin ma'lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persa, a, haruna, mergulho, ou, harga, tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejeling, jenis, alat tukar, yaitu, dirham, dinar, rupiah, atau, dolar, dsb, atau, barang-barang, yang, dapat, ditimbang, disukat, dsb Kedua, kejelasan, jenis, alat, tukar, apakah, rupiah, dolar, Amerika, dolar, Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk quilograma, lagoa, dst. Você está procurando um lugar especial para se hospedar em apakah, onde você se instalará em baikang sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas diteapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al'aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Ainda assim, é preciso que os homens persuadidos de antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Como resultado, você pode usar o filtro de tela como membro PBK. Kalaupun dalam, pelaksanaannya, masih ada pihak-pihak yang, merasa dirugikan dengan peraturan, perundang-undangan, yang, ada, maka, dapatlah, digunakan, kaidah hukum, atau, maxim legal yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. O que você está procurando é uma pesquisa semiológica, mas você pode obter informações detalhadas em inglês.
Denik demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islã, dengan menganalogikan kepada bay 'al-salam.
1. Os Contratos Básicos de Câmbio.
Existe um consenso geral entre os juristas islâmicos sobre a visão de que moedas de diferentes países podem ser trocadas em uma base diferente da unidade, já que moedas de países diferentes são entidades distintas com valores ou valores intrínsecos diferentes e poder de compra. Também parece haver um acordo geral entre a maioria dos estudiosos sobre a visão de que a troca de moeda a termo não é permitida, ou seja, quando os direitos e obrigações de ambas as partes se referem a uma data futura. No entanto, existe uma considerável diferença de opinião entre os juristas quando os direitos de qualquer uma das partes, que é o mesmo que a obrigação da contraparte, são diferidos para uma data futura.
Para elaborar, vamos considerar o exemplo de dois indivíduos A e B que pertencem a dois países diferentes, a Índia e os EUA, respectivamente. A pretende vender rúpias indianas e comprar dólares americanos. O inverso é verdadeiro para B. A taxa de câmbio Rúpia-Dólar acordada é 1:20 e a transação envolve compra e venda de US $ 50. A primeira situação é que A faz um pagamento à vista de Rs1000 para B e aceita o pagamento de $ 50 de B. A transação é liquidada em uma base spot de ambas as extremidades. Tais transações são válidas e islamicamente permissíveis. Não há duas opiniões sobre o mesmo. A segunda possibilidade é que a liquidação da transação de ambos os lados seja adiada para uma data futura, digamos após seis meses a partir de agora. Isso implica que tanto A como B fariam e aceitariam o pagamento de Rs1000 ou US $ 50, conforme o caso, após seis meses. A visão predominante é que tal contrato não é islamicamente permissível. Uma opinião minoritária considera admissível. O terceiro cenário é que a transação é parcialmente liquidada apenas de uma extremidade. Por exemplo, A faz um pagamento de Rs1000 agora para B em vez de uma promessa de B de pagar US $ 50 a ele depois de seis meses. Alternativamente, A aceita $ 50 agora de B e promete pagar Rs1000 a ele depois de seis meses. Existem visões diametralmente opostas sobre a permissibilidade de tais contratos que equivalem a bai-salam em moedas. O objetivo deste artigo é apresentar uma análise abrangente de vários argumentos em apoio e contra a permissibilidade desses contratos básicos envolvendo moedas. A primeira forma de contratação envolvendo troca de contra-valores em uma base spot está além de qualquer tipo de controvérsia. A permissão ou não do segundo tipo de contrato no qual a entrega de um dos contravalores é adiada para uma data futura, é geralmente discutida no âmbito da proibição da riba. Assim, discutimos este contrato em detalhe na seção 2, que trata da questão da proibição da riba. A admissibilidade da terceira forma de contrato em que a entrega de ambos os contravalores é diferida, é geralmente discutida no âmbito da redução de risco e incerteza ou gharar envolvidos em tais contratos. Este, portanto, é o tema central da seção 3, que trata da questão do gharar. A Seção 4 tenta uma visão holística da Sharia e relaciona questões como também o significado econômico das formas básicas de contratação no mercado de câmbio.
2. A questão da proibição de Riba.
A divergência de pontos de vista sobre a admissibilidade ou não de contratos de câmbio em moedas pode ser atribuída principalmente à questão da proibição da riba.
A necessidade de eliminar a riba em todas as formas de contratos de câmbio é de extrema importância. Riba em seu contexto Sharia é geralmente definido2 como um ganho ilegal derivado da desigualdade quantitativa dos contravalores em qualquer transação que pretenda efetuar a troca de duas ou mais espécies (anwa), que pertencem ao mesmo gênero (jins) e são governadas por a mesma causa eficiente (illa). Riba é geralmente classificada em riba al-fadl (excesso) e riba al-nasia (diferimento), que denota uma vantagem ilegal por meio de excesso ou diferimento, respectivamente. Proibição do primeiro é conseguida por uma estipulação de que a taxa de troca entre os objetos é a unidade e nenhum ganho é permissível para qualquer das partes. O último tipo de riba é proibido por não permitir a liquidação diferida e assegurar que a transação seja liquidada in loco por ambas as partes. Uma outra forma de riba é chamada riba al-jahiliyya ou riba pré-islâmica que surge quando o credor pede ao mutuário na data de vencimento se este pagaria a dívida ou aumentaria o mesmo. O aumento é acompanhado pela cobrança de juros sobre o montante inicialmente emprestado.
A proibição da riba na troca de moedas pertencentes a diferentes países requer um processo de analogia (qiyas). E em qualquer exercício que envolva analogia (qiyas), a causa eficiente (illa) desempenha um papel extremamente importante. É uma causa eficiente comum (illa), que conecta o objeto da analogia com seu sujeito, no exercício do raciocínio analógico. A causa eficiente apropriada (illa) no caso de contratos de câmbio foi definida de forma variada pelas principais escolas de Fh. Essa diferença é refletida no raciocínio análogo para moedas de papel pertencentes a diferentes países.
Uma questão de significância considerável no processo de raciocínio análogo relaciona-se à comparação entre moedas de papel com ouro e prata. Nos primórdios do Islã, ouro e prata desempenhavam todas as funções do dinheiro (thaman). Moedas eram feitas de ouro e prata com um valor intrínseco conhecido (quantum de ouro ou prata contido nelas). Tais moedas são descritas como thaman haqi, ou naqdain na literatura Fh. Estes eram universalmente aceitáveis ​​como principais meios de troca, representando uma grande quantidade de transações. Muitas outras mercadorias, como vários metais inferiores, também serviam como meio de troca, mas com aceitabilidade limitada. Estes são descritos como fals na literatura Fh. Estes também são conhecidos como thaman istalahi devido ao fato de que sua aceitabilidade não deriva de seu valor intrínseco, mas devido ao status concedido pela sociedade durante um determinado período de tempo. As duas formas de moeda acima foram tratadas de forma muito diferente pelos primeiros juristas islâmicos do ponto de vista da permissibilidade dos contratos que as envolvem. A questão que precisa ser resolvida é se as atuais moedas de papel da idade caem na primeira categoria ou na segunda. Um ponto de vista é que estes devem ser tratados a par com thaman haqi ou ouro e prata, uma vez que estes servem como o principal meio de troca e unidade de conta como o último. Assim, por raciocínio análogo, todas as normas e injunções relacionadas à sharia aplicáveis ​​a thaman haqi também devem ser aplicáveis ​​ao papel-moeda. A troca de thaman haqi é conhecida como bai-sarf e, portanto, as transações em moedas de papel devem ser governadas pelas regras da Sharia relevantes para bai-sarf. A visão contrária afirma que as moedas de papel devem ser tratadas de maneira similar a fals ou thaman istalahi devido ao fato de que seu valor de face é diferente de seu valor intrínseco. Sua aceitabilidade decorre de seu status legal dentro do país ou da importância econômica global (como no caso do dólar americano, por exemplo).
2.1. Uma síntese de visões alternativas.
2.1.1. Raciocínio Analógico (Qiyas) para a Proibição de Riba.
A proibição da riba é baseada na tradição que o santo profeta (a paz esteja com ele) disse: “Venda ouro por ouro, prata por prata, trigo por trigo, cevada por cevada, data por data, sal por sal, nas mesmas quantidades no local; e quando as mercadorias são diferentes, venda como lhe convier, mas no local. ”Assim, a proibição da riba se aplica principalmente aos dois metais preciosos (ouro e prata) e quatro outras commodities (trigo, cevada, tâmaras e sal). . Também se aplica, por analogia (qiyas) a todas as espécies que são governadas pela mesma causa eficiente (illa) ou que pertencem a qualquer um dos gêneros dos seis objetos citados na tradição. No entanto, não há um acordo geral entre as várias escolas de Fh e até mesmo estudiosos pertencentes à mesma escola sobre a definição e identificação de causa eficiente (illa) da riba.
Para os Hanafis, a causa eficiente (illa) da riba tem duas dimensões: os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins); estes possuem peso (wazan) ou mensurabilidade (kiliyya). Se numa dada troca, ambos os elementos da causa eficiente (illa) estão presentes, isto é, os contra-valores trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) e são todos passíveis de ser mensuráveis, então nenhum ganho é permissível (a taxa de câmbio deve ser igual à unidade) e a troca deve ser feita no local. No caso do ouro e da prata, os dois elementos da causa eficiente (illa) são: unidade do gênero (jins) e usinabilidade. Esta é também a visão Hanbali de acordo com uma versão3. (Uma versão diferente é semelhante à visão Shafii e Maliki, conforme discutido abaixo.) Assim, quando o ouro é trocado por ouro, ou a prata é trocada por prata, apenas transações pontuais sem qualquer ganho são permitidas. Também é possível que em uma dada troca, um dos dois elementos da causa eficiente (illa) esteja presente e o outro esteja ausente. Por exemplo, se os artigos trocados são todos fáceis de entender ou mensuráveis, mas pertencem a gêneros diferentes (jins) ou, se os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins), mas não é nem homogêneo nem mensurável, então troca com ganho (a uma taxa diferente de unidade) é permissível, mas a troca deve ser feita no local. Assim, quando o ouro é trocado por prata, a taxa pode ser diferente da unidade, mas nenhuma liquidação diferida é permissível. Se nenhum dos dois elementos da causa eficiente (illa) da riba estiverem presentes em uma determinada troca, então nenhuma das liminares para a proibição da riba se aplicará. A troca pode ocorrer com ou sem ganho e em uma base pontual ou diferida.
Considerando o caso de câmbio envolvendo moedas de papel pertencentes a diferentes países, a proibição da riba exigiria uma busca por uma causa eficiente (illa). Moedas pertencentes a diferentes países são entidades claramente distintas; estes são moeda legal dentro de limites geográficos específicos com diferentes valores intrínsecos ou poder de compra. Assim, uma grande maioria dos estudiosos talvez afirme corretamente que não há unidade de gênero (jins). Além disso, estes não são nem maleáveis ​​nem mensuráveis. Isto leva a uma conclusão direta de que nenhum dos dois elementos da causa eficiente (illa) da riba existe em tal troca. Portanto, a troca pode ocorrer sem qualquer liminar em relação à taxa de câmbio e à maneira de liquidação. A lógica subjacente a essa posição não é difícil de compreender. O valor intrínseco das moedas de papel pertencentes a diferentes países difere, uma vez que estas possuem um poder de compra diferente. Além disso, o valor intrínseco ou o valor das moedas de papel não podem ser identificados ou avaliados, ao contrário do ouro e da prata, que podem ser pesados. Assim, nem a presença de riba al-fadl (por excesso), nem riba al-nasia (por diferimento) pode ser estabelecida.
A escola Shafii de Fh considera a causa eficiente (illa) no caso de ouro e prata serem sua propriedade de ser moeda (thamaniyya) ou o meio de troca, unidade de conta e reserva de valor. Esta é também a visão de Maliki. De acordo com uma versão desse ponto de vista, mesmo que papel ou couro sejam feitos como meio de troca e recebam o status de moeda, todas as regras referentes a naqdain ou ouro e prata se aplicam a eles. Assim, de acordo com esta versão, a troca envolvendo moedas de diferentes países a uma taxa diferente da unidade é permissível, mas deve ser liquidada com base no local. Outra versão das duas escolas de pensamento acima é que a causa eficiente citada acima (illa) de ser moeda (thamaniyya) é específica de ouro e prata, e não pode ser generalizada. Ou seja, qualquer outro objeto, se usado como meio de troca, não pode ser incluído em sua categoria. Assim, de acordo com esta versão, as injunções da Sharia para a proibição da riba não são aplicáveis ​​às moedas de papel. As moedas pertencentes a diferentes países podem ser trocadas com ou sem ganho e em base pontual ou diferida.
Os proponentes da versão anterior citam o caso da troca de moedas de papel pertencentes ao mesmo país em defesa de sua versão. A opinião consensual dos juristas, neste caso, é que tal troca deve ser sem qualquer ganho ou a uma taxa igual à unidade e deve ser resolvida em uma base local. Qual é a razão subjacente à decisão acima? Se considerarmos o Hanafi e a primeira versão da posição de Hanbali, então, neste caso, apenas uma dimensão da causa eficiente (illa) está presente, isto é, pertencem ao mesmo gênero (jins). Mas as moedas de papel não são nem maleáveis ​​nem mensuráveis. Assim, a lei hannafi aparentemente permitiria a troca de diferentes quantidades da mesma moeda em uma base spot. Da mesma forma, se a causa eficiente de ser moeda (thamaniyya) é específica apenas para ouro e prata, então a lei Shafii e Maliki também permitiria o mesmo. Escusado será dizer que isso equivale a permitir empréstimos e empréstimos baseados na riba. Isso mostra que, é a primeira versão do pensamento Shafii e Maliki que fundamenta a decisão consensual de proibição de ganho e liquidação diferida em caso de troca de moedas pertencentes ao mesmo país. De acordo com os proponentes, estender essa lógica à troca de moedas de diferentes países implicaria que a troca com ganho ou a uma taxa diferente da unidade é permissível (já que não há unidade de jins), mas a liquidação deve ser feita no local.
2.1.2 Comparação entre Câmbio de Moeda e Bai-Sarf.
Bai-sarf é definido na literatura Fh como uma troca envolvendo thaman haqi, definida como ouro e prata, que serviu como principal meio de troca para quase todas as principais transações.
Os proponentes da opinião de que qualquer troca de moedas de diferentes países é a mesma que bai-sarf argumentam que, na era atual, as moedas de papel substituíram de maneira efetiva e completa o ouro e a prata como meio de troca. Assim, por analogia, a troca envolvendo tais moedas deve ser governada pelas mesmas regras e injunções da Sharia como bai-sarf. Argumenta-se também que, se a liquidação adiada por qualquer das partes do contrato for permitida, isso abriria as possibilidades de riba-al nasia.
Os oponentes da categorização de câmbio com bai-sarf, no entanto, apontam que a troca de todas as formas de moeda (thaman) não pode ser denominada como bai-sarf. De acordo com essa visão, bai-sarf implica troca de moedas feitas de ouro e prata (thaman haqi ou naqdain) sozinha e não de dinheiro pronunciado como tal pelas autoridades do estado (thaman istalahi). As atuais moedas de idade são exemplos do último tipo. Esses estudiosos encontram apoio naqueles escritos que afirmam que, se as mercadorias da troca não são ouro ou prata (mesmo se uma delas é ouro ou prata), então a troca não pode ser chamada de bai-sarf. Nem as estipulações relativas ao bai-sarf seriam aplicáveis ​​a tais trocas. De acordo com Imam Sarakhsi, 4 “quando um indivíduo compra falsas ou moedas feitas de metais inferiores, como o cobre (thaman istalahi) para dirhams (thaman haqi) e faz um pagamento à vista, mas o vendedor não tem falsas momento, então essa troca é permissível ...... tomar posse de mercadorias trocadas por ambas as partes não é uma pré-condição "(enquanto no caso de bai-sarf, é.) Um número de referências semelhantes existem que indicam que os juristas não classificam uma troca de fals (thaman istalahi) por outro fals (thaman istalahi) ou ouro ou prata (thaman haqi), como bai-sarf.
Assim, as trocas de moedas de dois países diferentes que só podem ser qualificadas como thaman istalahi não podem ser categorizadas como bai-sarf. Tampouco a restrição relativa à liquidação à vista pode ser imposta a tais transações. Deve-se notar aqui que a definição de bai-sarf é fornecida pela literatura Fh e não há menção do mesmo nas tradições sagradas. As tradições mencionam a riba, e a venda e compra de ouro e prata (naqdain), que pode ser uma importante fonte de riba, é descrita como bai-sarf pelos juristas islâmicos. Também deve ser notado que, na literatura Fh, bai-sarf implica apenas troca de ouro ou prata; se estes estão sendo usados ​​como meio de troca ou não. Troca envolvendo dinares e ornamentos de ouro, ambos com qualidade de bai-sarf. Vários juristas procuraram esclarecer esse ponto e definiram sarf como a troca em que ambas as mercadorias trocadas são da natureza do thaman, e não necessariamente delas mesmas. Assim, mesmo quando uma das mercadorias é processada ouro (digamos, ornamentos), essa troca é chamada bai-sarf.
Os proponentes da opinião de que o câmbio deve ser tratado de maneira similar à bai-sarf também derivam do apoio de escritos de eminentes juristas islâmicos. Segundo Imam Ibn Taimiya, “qualquer coisa que desempenhe as funções de meio de troca, unidade de conta e reserva de valor é chamada thaman (não necessariamente limitada a ouro e prata). Referências semelhantes estão disponíveis nos escritos do Imam Ghazzali5. No que diz respeito às opiniões do Imam Sarakhshi em relação à troca envolvendo fals, de acordo com eles, alguns pontos adicionais precisam ser tomados em consideração. Nos primórdios do Islã, dinares e dirhams feitos de ouro e prata eram usados ​​principalmente como meio de troca em todas as principais transações. Apenas os menores foram resolvidos com fals. Em outras palavras, fals não possuía as características de dinheiro ou thamaniyya na íntegra e dificilmente era usado como reserva de valor ou unidade de conta e estava mais na natureza da mercadoria. Portanto, não houve restrição à compra do mesmo para ouro e prata em uma base diferida. As moedas atuais têm todas as características do thaman e devem ser apenas thaman. A troca envolvendo moedas de diferentes países é igual a bai-sarf com diferença de jins e, portanto, a liquidação diferida levaria à riba al-nasia.
O Dr. Mohamed Nejatullah Siddui ilustra essa possibilidade com um exemplo6. Ele escreve “Num dado momento no tempo, quando a taxa de câmbio do mercado entre dólar e rupia é 1:20, se um indivíduo compra US $ 50 à taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rúpias diferida para uma data futura), então é altamente provável que ele esteja, de fato, tomando emprestado Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de pagar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os US $ 50 comprados a crédito na taxa à vista) ”Assim, sarf pode ser convertido em empréstimo baseado em juros & amp; empréstimo.
2.1.3 Definir Thamaniyya é a chave?
Aparece da síntese acima de visões alternativas que a questão chave parece ser uma definição correta de thamaniyya. Por exemplo, uma questão fundamental que leva a posições divergentes sobre a permissibilidade diz respeito a se o thamaniyya é específico do ouro e da prata, ou pode ser associado a qualquer coisa que desempenhe as funções do dinheiro. Levantamos algumas questões abaixo que podem ser levadas em conta em qualquer exercício de reconsideração de posições alternativas.
Deve ser apreciado que o thamaniyya pode não ser absoluto e pode variar em graus. É verdade que as moedas de papel substituíram completamente o ouro e a prata como meio de troca, unidade de conta e reserva de valor. Neste sentido, pode-se dizer que as moedas de papel possuem thamaniyya. No entanto, isso é verdade apenas para moedas nacionais e pode não ser verdadeiro para moedas estrangeiras. Em outras palavras, as rúpias indianas possuem thamaniyya dentro dos limites geográficos da Índia apenas, e não têm nenhuma aceitação nos EUA. Não se pode dizer que estes possuam thamaniyya nos EUA, a menos que um cidadão americano possa usar rúpias indianas como meio de troca, unidade de conta ou reserva de valor. Na maioria dos casos, essa possibilidade é remota. Essa possibilidade também é uma função do mecanismo de taxa de câmbio existente, como a conversibilidade das rupias indianas em dólares norte-americanos e a existência ou não de um sistema de taxa de câmbio fixa ou flutuante. Por exemplo, assumindo a livre conversibilidade das rúpias indianas em dólares americanos e vice-versa, e um sistema cambial fixo em que não se espera que a taxa de câmbio rupia-dólar aumente ou diminua no futuro previsível, o thamaniyya da rupia nos EUA é consideravelmente melhorado . O exemplo citado pelo Dr. Nejatullah Siddui também parece bastante robusto sob as circunstâncias. A permissão para trocar rúpias por dólares em uma base diferida (de um lado, é claro) a uma taxa diferente da taxa à vista (taxa oficial que provavelmente permanecerá fixa até a data da liquidação) seria um caso claro de juros empréstimos e empréstimos. No entanto, se a suposição de taxa de câmbio fixa for relaxada e se presumir que o atual sistema de taxas de câmbio flutuantes e voláteis é o caso, então pode ser demonstrado que o caso de riba al-nasia se desfaz. Reescrevemos seu exemplo: “Num dado momento no tempo, quando a taxa de câmbio do mercado entre dólar e rupia é 1:20, se um indivíduo compra US $ 50 à taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rúpias diferida para um futuro data), então é altamente provável que ele esteja, de fato, tomando emprestado Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de pagar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os US $ 50 comprados a crédito à taxa à vista) ”Isto seria assim, somente se o risco cambial é inexistente (a taxa de câmbio permanece em 1:20), ou é suportado pelo vendedor de dólares (o comprador paga em rupias e não em dólares). Se o primeiro é verdadeiro, então o vendedor do dólar (credor) recebe um retorno predeterminado de dez por cento quando converte Rs1100 recebidos na data de vencimento em $ 55 (a uma taxa de câmbio de 1:20). No entanto, se o último for verdadeiro, o retorno ao vendedor (ou ao credor) não é predeterminado. Não precisa nem ser positivo. Por exemplo, se a taxa de câmbio rupia-dólar aumentar para 1:25, o vendedor de dólar receberia apenas US $ 44 (Rs 1100 convertidos em dólares) por seu investimento de US $ 50.
Aqui dois pontos são dignos de nota. Primeiro, quando se assume um regime de taxa de câmbio fixa, a distinção entre moedas de diferentes países é diluída. A situação se torna semelhante a trocar libras esterlinas (moedas pertencentes ao mesmo país) a uma taxa fixa. Segundo, quando se assume um sistema volátil de câmbio, então, assim como se pode visualizar o empréstimo através do mercado de moedas estrangeiras (mecanismo sugerido no exemplo acima), também é possível visualizar o empréstimo através de qualquer outro mercado organizado (como commodities ou ações .) Se alguém substitui dólares por ações no exemplo acima, ele seria: “Em um dado momento, quando o preço de mercado do estoque X é Rs 20, se um indivíduo compra 50 ações à taxa de Rs 22 (liquidação de sua obrigação em rúpias diferida para uma data futura), então é altamente provável que ele esteja, de fato, tomando emprestado Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de pagar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando as 50 ações compradas a crédito a preço atual) ”Neste caso, como no exemplo anterior, retornos para o vendedor de ações podem ser negativos se o preço das ações subir para Rs 25 na data de liquidação. Assim, assim como os retornos no mercado de ações ou no mercado de commodities são islamicamente aceitáveis ​​por causa do risco de preço, o mesmo ocorre com os retornos no mercado de moedas devido às flutuações nos preços das moedas.
Uma característica indiscutível do thaman haqi ou do ouro e da prata é que o valor intrínseco da moeda é igual ao seu valor nominal. Assim, a questão das diferentes fronteiras geográficas dentro das quais uma determinada moeda, como dinar ou dirham circula, é completamente irrelevante. Ouro é ouro, seja no país A ou no país B. Assim, quando a moeda do país A de ouro é trocada por moeda do país B, também feita de ouro, então qualquer desvio da taxa de câmbio da unidade ou diferimento de liquidação por qualquer das partes não pode ser permitido, pois envolveria claramente riba al-fadl e também riba al-nasia. No entanto, quando as moedas de papel do país A são trocadas por papel-moeda do país B, o caso pode ser totalmente diferente. O risco de preço (risco de taxa de câmbio), se positivo, eliminaria qualquer possibilidade de riba al-nasia na troca com liquidação diferida. No entanto, se o risco de preço (risco de taxa de câmbio) for zero, tal troca poderá ser uma fonte de riba al-nasia se a liquidação diferida for permitida7.
Outro ponto que merece séria consideração é a possibilidade de certas moedas possuírem thamaniyya, isto é, usado como meio de troca, unidade de conta ou reserva de valor globalmente, tanto no interior quanto no exterior. Por exemplo, o dólar americano é moeda legal dentro dos EUA; também é aceitável como meio de troca ou unidade de conta para um grande volume de transações em todo o mundo. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender.
Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman; or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country; or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract.
2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards.
So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties ? Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. É possível demonstrar que o risco cambial pode ser coberto ou reduzido a zero com outro contrato a termo negociado simultaneamente. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba.
We modify and rewrite the same example: “In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is , in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate)” The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity.
Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases $50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell $50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10.
3. A questão da liberdade de Gharar.
Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles.
Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12.
An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13.
Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible.
3.2 Gharar & Speculation with of Futures & Forwards.
Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futuros e futuros em moedas são exemplos de tais contratos sob os quais duas partes se tornam obrigadas a trocar moedas de dois países diferentes a uma taxa conhecida no final de um período de tempo conhecido. Por exemplo, os indivíduos A e B se comprometem a trocar dólares americanos e rúpias indianas à taxa de 1: 22 após um mês. Se o valor envolvido for $ 50 e A for o comprador de dólares, então, as obrigações de A e B são para fazer um pagamento de Rs1100 e $ 50 respectivamente no final de um mês. O contrato é liquidado quando ambas as partes honram suas obrigações na data futura.
Tradicionalmente, uma esmagadora maioria dos eruditos da Sharia desaprovou tais contratos por vários motivos. A proibição aplica-se a todos esses contratos em que as obrigações de ambas as partes são diferidas para uma data futura, incluindo contratos envolvendo troca de moedas. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased.
Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries ? In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling $50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar.
3.3. Risk Management in Volatile Markets.
Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of $50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his $50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell $50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party – whether to hedge or to speculate, can never be ascertained.
It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of $50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of $50 (with his obligation to pay $50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell $50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of $50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation.
4. Resumo & amp; Conclusão.
Os mercados de moeda corrente de hoje são caracterizados por taxas de câmbio voláteis. Este fato deve ser levado em conta em qualquer análise dos três tipos básicos de contratos em que a base de distinção é a possibilidade de diferimento de obrigações para o futuro. Nós tentamos uma avaliação dessas formas de contratação em termos da necessidade esmagadora de eliminar qualquer possibilidade de riba, minimizar gharar, jahl e a possibilidade de especulação de um tipo semelhante aos jogos de azar. Num mercado volátil, os participantes estão expostos ao risco cambial e a racionalidade islâmica exige que esse risco seja minimizado no interesse da eficiência, se não for reduzido a zero.
It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technue of risk management and may involve some practical problems for the participants.
At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays’ complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract – speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive.
The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. .
Notes & Referências.
1. Essas visões diversas se refletem nos trabalhos apresentados no Quarto Seminário FH, organizado pela Academia Islâmica Fh, na Índia, em 1991, que foram posteriormente publicados em Majalla Fh Islami, parte 4 pela Academia. A discussão sobre a proibição da riba baseia-se nesses pontos de vista.
2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16.
3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9.
4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25.
5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fh Seminar organized by Islamic Fh Academy, India in 1991.
6. Paper by Dr M N Siddui highlighting the issue was circulated among all leading Fh scholars by the Islamic Fh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fh Seminar held in 1991.
7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. “In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging $50 with $55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for $55 at spot rate of 1:20)” Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too ? The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic.
8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices.
9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller.
10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible.
11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty.
12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty.
Ibn Abbas reported that when Allah’s prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: “Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time”.
It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mother’s womb.
13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allah’s Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty.
The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance.
14. The holy prophet is reported to have said ” Do not sell what is not with you”
Ibn Abbas reported that the prophet said: “He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it.” Ibn Abbas said: “I think it applies to all other things as well”.
15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase.
16. M Hashim Kamali “Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures”, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996.
Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India.
FOREX DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM.
بســـــــم الله الرحمن الرحيـــــــم.
Dalam Bukunya Prof Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam.
Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan / komoditi antar negara yang bersifat saudadesionalional. Perdigangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan to bei kaanai uang yang masing masing-masing-masing-masing-to-masi-diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG também.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat nacionalional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara denan lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Por favor, observe que você pode fazer sua reserva em todos os dias. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS.
1. Ada Ijab-Qobul: & # 8212; & gt; Ada perjanjian untuk memberi dan menerima.
Penjual menyerahkan barang e pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
2. Memanuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
Clique aqui para ver a próxima página Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.
Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama .
لاتشترواالسمك فیالماءفاءنه غرد.
& # 8220; Jangan kamu membeli ikan dalam ar, karena sesungguhnya jual beli yang demikian eua mengandung penipuan & # 8221 ;. (Hadis Ahmad bin Hambal e Al Baihaqi dari Ibnu Mas & # 8217; ud)
Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Você já está em Rio de Janeiro Nabi riwayat Al Daraquthni de Abu Hurairah:
منسترئ شيتالميرهفله الخيارإذاراه.
Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya & # 8221 ;.
Como você pode ter perdido a vida, seperti ketela, kentang, bawang sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena a mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islã:
المشقة تجلب التيسر.
Kesulitan itu menarik kemudahan.
Demita juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus / tertutup, seperti makanan kalengan, GPL, dan sebagainya, asalkam diberi rótulo yang menerangkan isinya. Vide Sab, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islão tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55
JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM.
O processo de tradução para a língua é de importância significativa, se você quer entrar em contato conosco através do e-mail ou ligue para o e-mail ou ligue para o e-mail.
Apabila antara negara ter per capita per capita negarai yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari eil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa un menukimpor dari luar negeri.
Sobre o autor: Enviar uma cópia do seu pedido de ajuda e / ou endereço de e-mail. setiap negara berwenang penúmen menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandoan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atua perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. Al. Ekonomi de Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77)

Комментариев нет:

Отправить комментарий